Kasus Gratifikasi dan Uang Suap Ketok Palu dalam Prespektif Seloko Adat Melayu Jambi


Oleh:
Anggie Rizka Safitri


Abstrak: Altikel ini bertujuan untuk mengindentifikasi Etika kepemimpinan pada kasus gratifikasi dan uang suap ketok palu Zumi Zola dalam perspeksitif  Seloko Adat Melayu Jambi. Altikel ini menggunakan metode library research dengan berbagai pendekatan keilmuan. Persoalan yang diangkat dalam artikel ini adalah pelanggaran etika kepemimpinan pada kasus gratfikasi dan uang suang ketok palu dalam perspektif seloko adat Melayu Jambi. Melalui artikel ini dapat disimpulkan bahwa sebagai seorang pemimpin serta menyandang gelar “Sri Paduko Anom Setio Negeri” Zumi Zola telah melanggar etika kepemimpinan dalam perspektif seloko adat melayu, sebagai seorang pemimpin Zumi Zola bersikap: mementingkan kepentingan pribadi, tidak amanah, penyalahgunaan wewenang, dan terlibat konflik kepentingan (self of interest).



Keywords: Etika dalam Kepemimpinan, Gratfikasi, Uang Suap Ketok Palu, Seloko Adat Melayu Jambi


PENDAHULUAN

Pemimpin itu hendaknyo ibarat sebatang pohon, batangnyo besak tempat besandar, daunnyo rimbun tempat belindung ketiko hujan tempat beteduh ketiko panas, akarnyo besak tempat besilo.. pegi tempat betanyo, balik tempat babarito

Kalimat di atas merupakan sebuah petuah sastra adat melayu jambi. Penduduk asli Jambi adalah suku Melayu, yang kemudian bercampur dengan suku Minang dan Arab-Turki. Sebelum Indonesia merdeka, Provinsi Jambi merupakan bekas wilayah Kesultanan Islam Melayu Jambi. Penyebaran Islam di daerah Jambi dimulai dari datangnya seorang ulama dari Turki (menurut referensi lainnya dari Gujarrat) yang bergelar Datuk Paduko Berhala. Nilai-nilai Islam sejak dahulu menjadi nilai terintegrasi dalam kehidupan sosial masyarakat Jambi. Hal ini terlihat dari falsafah yang hidup di tengah masyarakat yaitu, “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”. Dengan demikian, tidak mengherankan jika model pemerintahan adat-tradisional Jambi sangat kental dengan nilai-nilai keislaman yang bercampur dengan budaya Melayu. Nilai-nilai  inilah yang menjadi karakteristik khas kehidupan sosial-politik masyarakat Jambi, sekaligus membedakannya dengan daerah lain (Harun dan Sagala, 2013:66).
         Salah satu produk dari Islam–Melayu ialah lahirnya hukum adat yang disebut seloko adat Jambi. Seloko adat adalah ungkapan yang mengandung pesan, amanat petuah, atau nasihat yang bernilai etik dan moral serta sebagai alat pemaksa dan pengawas norma-norma masyarakat agar selalu dipatuhi. Isi ungkapan seloko adat Jambi meliputi peraturan bertingkah laku dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya dan kaidah-kaidah hukum atau norma-norma, senantiasa ditaati dan dihormati oleh masyarakatnya karena mempunyai sanksi. Ungkapan-ungkapan seloko adat Jambi dapat berupa peribahasa, pantun, atau pepatah-petitih (Nurhasanah, 2004).
            Lebih lanjut seloko adat Jambi tidak sekadar peribahasa, pepatah-petitih, atau pantun-pantun, tetapi lebih dalam lagi seloko adat Jambi merupakan pandangan hidup atau pandangan dunia yang mendasari seluruh kebudayaan Jambi. Seloko adat Jambi sebagai suatu filsafat yang dirumuskan secara eksplisit dalam peribahasa, pepatah-petitih, atau pantun-pantun, tetapi masih bersifat implisit yang tersembunyi dalam fenomena kehidupan masyarakat Jambi. Seloko adat Jambi adalah sarana masyarakatnya untuk merefleksikan diri akan hakikat kebudayaan, pemahaman mendasar dari pesan, dan tujuan dari sebuah kebudayaan (Armansyah, 2017:2).
            Konsep kepemimpinan dalam masyarakat Melayu memiliki dasar-dasar yang sangat kuat dan kokoh. Ia dibangun tidak saja oleh nilai-nilai transendental, namun telah dipraktekakkan sejak berabad-abad yang lalu oleh Nabi Muhammad SAW, para Sahabat dan Al-Khulafa Al-Rasyidin. Pijakan kuat yang bersumber dari Al-qur’an dan As-sunnah serta dengan bukti empriknya telah menempatkan konsep kepemimpinan Islam sebagai salah satu model kepemimpinan masyarakat Melayu (Juswandi, 2012:44).
Bila seorang pemimpin tidak tahu diri, umat binasa rusaklah negeri” ungkapan ini membawa maksud, apabila seorang pemimpin dalam masyarakat melayu tidak tahu diri, tidak tahu hak dan kewajibannya dan tidak memiliki kemampuan untuk memimpin, atau berkhianat, memimpin dengan sewenang-wenang, maka binasalah umat dan binasalah negeri. Ungkapan di atas mencerminkan betapa besarnya pengaruh dan peranan pemimpin dalam menentukkan nasib bangsa dan negaranya. Oleh sebab itu orang Melayu amatlah berhati-hati, hormat dan cermat dalam memilih pemimpinnya. Di dalam budaya melayu pemimpin amatlah beragam, mulai dari pemimpin rumah tangga, dusun kampung sampailah kepada bangsa (Juswandi, 2012: 43).
Indonesia saat ini sedang mengalami krisis kepemimpinan sehingga semakin sulit ditemukannya figur-figur pemimpin teladan yang dapat menjadi panutan bagi generasi muda. Hal ini terlihat dengan semakin banyaknya kasus korupsi yang di pertontonkan para pemimpin Indonesia di seluruh daerah. Budaya korupsi merusak dan menggerogoti sendi-sendi berbangsa dan bernegara di berbagai pelosok nusantara baik pemerintahan, pelayanan, pendidikan kesehatan dan pembangunan (Hendrawan, 2013).
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menuntut Zumi Zola dengan pidana delapan tahun penjara. Politikus PAN tersebut juga dituntut untuk membayar denda sebesar Rp1 miliar subsidair enam bulan kurungan. Dalam tuntutannya, jaksa meyakini bahwa Zumi Zola terbukti menerima gratifikasi sebesar Rp44 miliar dan satu unit mobil Alphard. Jaksa juga menyatakan bahwa Zumi Zola bersalah telah menyuap anggota DPRD Jambi sebesar Rp16,34 miliar. Uang Rp16,34 miliar tersebut diduga untuk memuluskan ketok palu Rancangan Peraturan Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Jambi tahun anggaran 2017-2018.
Sebagaimana diketahui bahwa beberapa bulan sebelum terkuaknya kasus tersebut. Zumi Zola telah diaanugerahi gelar adat oleh Lembaga Melayu Jambi (LAM). Oleh LAM Jambi, Zumi Zola diberi gelar kehormatan adat, yakni “Sri Paduko Anom Setio Negeri”. Sementara, sang istri mendapatkan penghargaan gelar adat Karang Setyo. Gelar kehormatan adat Sri Paduko Anom Setio memiliki makna bahwa seorang pemimpin muda yang cerdas dan amat dimuliakan serta dicintai oleh masyarakat dan juga tidak lari dari tanggung jawab untuk membangun negeri Jambi (liputan6.com, 2018). Jika dilihat dari makna gelar tersebut yang dapat diartikan sebuah pengharapan seoang pemimpin yang setia membangun negeri, namun kasus yang menjerat Zumi Zola sangat bertentangan dengan gelar adat yang diterimanya. Gelar tersebut seakan kehilangan arti dirusak oleh ketidakjujuran seorang pemimpin yang seharusnya menjadi pelindung dan pengayom rakyatnya.
Penelitian mengenai penerapan nilai-nilai Adat Melayu Jambi sudah cukup banyak dilakukan oleh beberapa peneliti. Salah satunya seperti penelitian yang dilakukan oleh (Nofriyandi dan Utsman, 2018) dengan menghubungkan penerapan nilai-nilai dengan mewudkan Good Governace di Kota Jambi dengan kontes nilai adat Melayu Jambi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa penerapan nilai-nilai adat melayu Jambi dalam mewujudkan Good Governace di lingkungan Kota Jambi sudah dilakukan dengan baik. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh (Al Munir et al, 2013) yang melakukan peneltiain mengenai etika kepemimpinan dalam Seloko Adat Melayu Jambi. Hasil penelitian ( Al Munir et al, 2013) ini menyatakan bahwa seorang pemimpin harus memiliki moral yang baik, ditandai dengan sifat-sifat berikut: tulus, lembut, adil, murah hati dan bijaksana.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis ingin mengkolaborasi lebih jauh persoalan kasus gratifikasi dan suap ketok palu yang menimpa mantan Gubernur Zumi Zola, dalam sebuah artikel ilmiah dengan mendasarkannya pada sastra adat Jambi berupa seloko adat Melayu Jambi yang di dalamnya melingkupi berbagai aturan yang berisi anjuran-anjuran dan larangan-larangan bagi para pemimpin. Elaborasi dalam bentuk artikel ilmiah ini juga menjadi penting sebagai salah satu bentuk revitalisasi budaya lokal Jambi. Dan demi keperluan tersebut artikel ini menggunakan etika dari sudut pandang kepemimpinan sebagai pisau analisis.  Maka penelitian ini akan menjawab rumusan masalah “Bagaimana etika kepemimpinan pada kasus gratifikasi dan uang suap ketok palu Zumi Zola dalam prespeksi seloko adat Melayu Jambi?”


Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP) : Pengertian, Tujuan, Indikator dan Temuan atas Kelemahan SPIP

Sistem Pengendalian Internal  Pemerintah       Sistem Pengendalian Internal diperlukan oleh semua entitas dalam pelaksanaan kegiatan operais...