Cost Volume Profit


PENDAHULUAN 

Untuk memperoleh laba yang maksimal, perusahaan perlu membuat suatu perencanaan yang tepat dan cermat dalam menjalankan kegiatan operasionalnya. Perencanaan laba merupakan pengungkapan keuangan dan naratif akan hasil yang diharapkan dari keputusan perencanaan, dimana dengan jelas dapat ditetapkan sasaran dalam bentuk waktu yang diperkirakan dan hasil keuangan yang diharapkan (Satriani, dkk. 2015: 28).
Samryn, L.M (2012:174) mengatakan hubungan analisis Cost Volume Profit dalam perencanaan laba dapat digunakan untuk menghitung titikimpas, target laba, margin keamanan (margin of safety), komposisi biaya untuk memaksimumkan margin kontribusi, struktur biaya atau leverage operasi.
Analisis biaya volume laba (CVP) menekankan keterkaitan antara biaya, kuantitas yang terjual da harga semua informasi keuangan perusahaan terkandung di dalamnya. Analisis CVP dapat menjadi suatu alat yang bermanfaat untuk mengidentifikasi cakupan dan besarnya kesulitan ekonomi yang dihadapi suatu divisi dan membantu mencari pemecahannya (Hansen dan Mowen, 2009:4)


LANDASAN TEORI 


2.1 Analisis CVP (Cost Volume and Profit) 
2.1.1 Pengertian CVP (Cost Volume and Profit) 
Analisis Biaya volume laba (cost volume profit – CVP) adalah alat yang sangat berguna bagi manajer dalam memberikan perintah. Alat ini membantu mereka memahami hubungan timbal balik antara biaya, volume, dan laba dalam organisasi dengan memfokuskan pada interaksi antar lima elemen (Garrison, 2013: 262): 
a. Harga produk
b. Volume atau tingkat aktivitas
c. Biaya variabel per unit
d. Total biaya tetap
e. Bauran produk yang dijual 
Karena analisis biaya volume laba membantu manajer mengerti hubungan timbal balik antar biaya volume laba, alat ini sangat penting dalam berbagai keputusan bisnis. Keputusan keputusan ini mencakup sebagai contoh produk apa yang harus diproduksi dan dijual, kebijakan harga apa yang harus dijalankan, startegi pemasaran apa yang harus digunakan dan struktur biaya apa yang digunakan (Garrison, dkk. 2013: 262). 



2.1.2 Asumsi Penggunaan Analisis CVP (Cost Volume and Profit) 

Penggunaan suatu model tidak terlepas dari keterbatsan-keterbatasannya, yang harus menggunakan asumsi-asumsi tertentu. Dengan mengetahu batasan-batasan yang dimaksud menyebabkan penggunaan analisis model dan tidak menimbulkan kekeliruan dan kesalahan dalam pengambilan keputusan (Kamaruddin, 2017:57). Batasan-batasan CVP adalah sebagai berikut (Kamaruddin, 2017:57-58) : 
1. Konsep tentang variabilitas cost dapat diterima, karena itu biaya harus realistis diklasifikasikan sebagai variabel dan tetap. 
2. Range yang relevan pada semua tahap analisis harus ditentukan. 
3. Harga jual per unit tidak berubah jika terjadi perubahan volume. 
4. Hanya dijual satu jenis produk (single produk). 
5. Jika analisis digunakan untuk berbagai produk atau kombinasi prosuk (product mix), sales mixnya harus tetap atau konstan. 
6. Kebijaksanaan manajemen terhadap operasi perusahaan tidak berubah secara material dalam jangka pendek. 
7. Tingkat harga umum stabil dalam jangka pendek. 
8. Sinkronisasi antara penjualan dan produksi, yang berarti tingkat inventori harus konstan atau kosong (nol). 
9. Efisiensi dan produktivitas tidak mengalami perubahan-perubahan, khususnya dalam jangka pendek. 

2.2 Menerapkan CVP (Cost Volume and Profit) 
2.2.1 Penggunaan Laba Operasi dalam Analisis CVP 
Laporan Laba rugi merupakam suatu alat yang berguna untuk mengorganisasikan biaya-biaya perusahana dalam kategori tetap dan variabel. Laporan laba-rugi dapat dinyatakan sebagai persamaan berikut (Hansen dan Mowen, 2009:5). 

Laba Operasi = Pendapatan penjualan – Beban Variabel – Beban tetap 

Laba operasi (Operating Income) hanya mencakup pendapatan dan beban dari operasional normal perusahaan. Laba bersih (net income) adalah laba operasi dikurangi pajak penghasilan. Setelah menghitung jumlah unit yang terjual, kita dapat mengembangkan persamaan laba operasi dengan menyatakan pendapatan pernjualan dan beban variabel dalam jumlah unit dolar dan jumlah unit. Secara lebih spesifik, pendapatan penjualan dinayatakan sebagai harga jual per unit dikali jumlah unit yang terjual, dan total biaya variabel adalah biaya variabel per unit dikali jumlah unit yang terjual. Dengan demikian, persmaan laba operasi menjadi (Hansen dan Mowen, 2009:5): 

Laba Operasi = (Harga x Jumlah unit terjual) – (Biaya variabel per unit x Jumlah unit terjual) – Total biaya tetap.

2.2.1 Analisis Titik Impas 
Titik Impas (break even point) adalah titik dimana total pendapatan sama dengan total biaya, titik dimana laba sama dengan nol. Untuk menemjukan titik impas dalam unit, kita fokus pada laba operasi (Hansen dan Mowen, 2009: 4). Untuk menentukan titik impas dalam unit, fokusnya adalah pada laba operasi. Keputusan awal perusahaan dalam mengiplemen tasikan pendekatan unit yang terjual pada analisis CVP adalah menentukan apa yang dimaksud dengan sebuah unit. Keputusan kedua terpusat pada pemisahan biaya menjadi komponen tetap dan vaiabel. Analsis CVP berfokus pada berbagai faktor yang mempengaruhi perubahan dalam komponen laba. Saat kita membahas analisis CVP dalam kerangka unit yang terjual, kita perlu menetukan komponen tetap dan variabel dari biaya serta pendapatan yang berkaitan dengan unit-unit. Saat kita membahasa perusahaan secara keseluruhan. Biaya-biaya yang dibicarakan seluruh biaya perusahaan manufaktur, pemasaran dan administrasi. Jadi, jika kita menyebut biaya variabel, maka kita maksudkan adalah semua biaya yang meningkat akibat unit yang terjual lebih banyak, termasuk bahan baku lanhgsung, tenaga kerja langsung, overhead variabel, biaya penjualan, dan administrasi variabel. Biaya tetap juga mencakup overhead tetap, beban penjualan dan administrasi tetap (Hansen dan Mowen: 2009: 5).


2.2.2 Margin Kontribusi 

Margin konstribusi adalah jumlah yang tersisa dari pendapatan dikurangi beban variabel. Jadi, ini adalah jumlah yang tersedia untuk menutup beban tetap dan kemudian menjadi laba untuk periode tersebut. Margin kontribusi digunakan untuk menutup beban tetap dan sisanya akan menjadi laba. Jika margin kontribusi tidak cukup untuk menutup beban tetap perusahaan, maka akan terjadi kerugian untuk periode tersebut (Garison, dkk. 2013: 324). Untuk mengilustrasikan dengan contoh, asumsikan pada pertengahan bulan Acoustic Concepts hanya mampu menjual satu pengeras suara. Jika tidak ada tambahan pengeras suara yang terjual untuk beulan tersebut, laporan laba-rugi perusahaan akan tampak seperti berikut (Garison, dkk. 2013: 324):


Jika jumlah pengeras suara yang terjual cukup untuk menghasilkan $35.000 dalam mergin kontribusi maka seluruh bahan tetap akan tertutup dan perusahaan akan dapat mencapai titik impas (break even) untuk bulan tersebut. Dimana tidak ada laba ataupun rugi, hanya menutup semua biaya. Untuk mencapai titik impas, perusahaan harus menjual $350 pengeras suara dalam satu bulan, karena setiap pengeras suara yang terjual menghasilkan $100 dalam margin kontribusi:

Titik impas adalah tingkat penjualan dimana laba adalah nol. Ketika titik impas dicapai. Laba bersih akan bertambah sesuai dengan margin kontribusi per unit untuk setiap tambahan produk yang terjual. Jika 351 pengeras suara terjual dalam satu bulan. Laba bersih akan menjadi $ 100, karena perusahaan menjual 1 pengeras suara lebih banyak dari jumlah yang dibutuhkan untuk titik impas(Garison, dkk. 2013: 324).
2.1.1      2.2.3 Rasio Margin Kontribusi
Rasio Margin Kontribusi dapat digunakan dalam perhitungan laba. Margin kontribusi sebagai persentase penjualan adalah mengacu pada rasio margin kontribusi (CM ratio). Rasio dihitung sebagai berikut (Garrison, 2013: 328):

2.2.4 Anilisis Target Laba
Meskipun titik impas merupakan informasi yang berguna, sebagaian besar perusahaan ingin memperoleh laba operasi lebih besar dari pada nol. Analisis CVP menyediakan suatu cara menentukan jumlah unit yang harus dijual untuk menghasilkan target laba tertentu. Rumus biaya volume laba digunakan untuk menentukan volume penjualan yang dibutuhkan untuk mencapai target laba (Hansen dan Mowen: 2009: 5).

Rumus baiya volume laba dapat digunakan untuk menentukan volume penjualan yang dibutuhkan untuk mencapai target laba. Anggaplah Prem Barayan dari Acoustuc Concepts ingin mencapai target laba $ 40.000 perbulan. Berapa banyak pengeras suara yang harus terjual?Persamaan Biaya Volume Laba satu pendekatan adalah menggunakan metode persamaan. Dari pada mencari unit penjualan dimana laba adalah nol, lebih baik mencari unit penjualan dimana laba adalah $ 40.000 (Garrison, dkk. 2013: 336).

2.2.5 Peran Strategis Analisis CVP 

Analisis CVP dapat membantu perusahaan menjalankan strategi dengan memberikan pemahaman tentang bagaimana perubahan volume penjualan mempengaruhi biaya dan keuntungan. Banyak perusahaan, terutama biaya kepemimpinan perusahaan, bersaing dengan meningkatkan volume (seringkali melalui harga yang lebih rendah) untuk mencapai biaya operasi keseluruhan yang lebih rendah, unit tetap biaya sangat rendah. Analisis CVP menyediakan sarana untuk memprediksi efek pertumbuhan penjualan pada keuntungan. Hal ini juga menunjukkan risiko dalam meningkatkan biaya tetap jika volume jatuh (Blocher, dkk, 2010:327). 
Analisis CVP penting dalam menggunakan kedua siklus hidup biaya dan target costing. Dalam siklus hidup biaya, analisis CVP digunakan pada tahap awal dari siklus hidup biaya produk untuk menentukan apakah produk tersebut mungkin untuk mencapai profitabilitas yang diinginkan. Demikian pula, analisis CVP dapat membantu dalam target costing pada tahap awal dengan menunjukkan efek pada keuntungan dari desain produk alternatif yang memiliki biaya target yang berbeda (Blocher, dkk, 2010:328). Selain itu, analisis CVP dapat digunakan pada tahap selanjutnya dari siklus hidup, selama perencanaan manufaktur, untuk menentukan proses manufaktur paling hemat biaya. keputusan manufaktur tersebut termasuk ketika mengganti mesin, jenis mesin untuk membeli, ketika untuk mengotomatisasi proses, dan kapan harus outsource operasi manufaktur. Analisis CVP juga digunakan dalam tahap akhir dari siklus hidup biaya untuk membantu menentukan yang terbaik pemasaran dan distribusi sistem. Misalnya, analisis CVP dapat digunakan untuk menentukan apakah untuk membayar tenaga penjualan secara gaji atau dasar komisi untuk biaya yang lebih rendah. Demikian pula, dapat membantu untuk menilai keinginan program diskon atau rencana promosi (Blocher, dkk, 2010:328). 


2.3 Ketidakpastian dalam Cost Volume Profit 

Asumsi penting dari analisis CVP adalah harga dan biaya diketahui dengan pasti. Namun, hal tersebut jarang terjadi. Risiko dan ketidakpastian adalah bagian dari pengambilan keputusan bisnis dan bagaimanapun hal itu harus ditangani. Secara formal, risiko berbeda dengan ketidakpastian. Distribusi probabilitas variabel pada risiko dapat diketahui, sedangkan ditribusi probabilitas variabel pada ketidakpastian tidak diketahui (Hansen dan Mowen, 2009: 27). 

Bagaimanapun cara manajer menghadapi risiko dan ketidakpastian ? Ada berbagai metode yang dapat digunakan. Pertama, pihak manajemen tentu harus menyadari sifat ketidakpastian dari harga, biaya, dan kuantitas di masa depan. Selanjutnya, para manajer bergerak dari pertimbangan titik impas ke pertimbangan yang disebut kisaran titik impas. Dengan kata lain karena sifat data yang tidak pasti, suatu perusahaan mungkin mencapai titik impas ketika 1.800 sampai 2.000 unit terjual. Jadi, titik impas tidak dietimasi pada satu titik tertentu, misalnya 1.900 unit. Selain itu, para manajer dapat menggunakan analisis sensitivitas atau analisis bagaimana jika (what-if). Dalam hal ini, penggunaan spreadsheet komputer akan membantu para manajer dalam menentukan hubungan titik impas (atau target laba), kemudian memeriksanya untuk melihat dampak harga dan biaya yang bervariasi terhadap kuantitas yang terjual. Dua konsep yang bermanfaat bagi manajemen adalah margin pengaman dan pengungkitoperasi. Kedua konsep ini dapat dipertimbangkan untuk mengukur risiko. Setiap konsep mensyaratkan pengetahuan mengenai biaya tetap dan variabel (Hansen dan Mowen, 2009: 28). 

1. Margin Pengaman 

Margin pengaman (margin of safety) adalah unit yang terjual atau yang diharapkan terjual atau pendapatan yang dihasilakn atau diharapkan untuk dihasilkan yang melebihi volume impas. Sebagai contoh, jika volme impas perusahaan adalah 200 unit dan perusahaan saat ini menjual 500 unit, maka margin pengamannya adalah 300 unit (500 – 200). Argin pengaman juga dapat dinyatakan dalam pengdatapann penjualan. Jika volume impas adalah $200.000 dan pendapatan saat ini ,$350.000, maka margin pengamannya adalah $150.000 (Hansen dan Mowen, 2009: 28). 

Margin pengaman dapat dipandang sebgaia ukuran kasar dari risiko. Pada kenyataannya, peristiwa yang tidak diketahui selalu muncul ketika rencana disusun. Hal itu dapat menurunkan penjualan di bawah jumlah yang diharapkan. Apabila margin pengaman perusahaan adalah besar atas penjualan tertentu yang diharapkan di tahun depan, maka risiko menderita kerugian jika penjualan menurun lebih kecil dari pada margin pengamannya kecil. Manaejr yang dihadapi margin pengaman yang rendah mungkin ingin mempertimbangkan berbagai tindakan untuk meningkatkan penjualan atau mengurangi biaya. Langkah-langkah tersebut akan meningkatkan margin pengaman dan mengurangi risiko merugi (Hansen dan Mowen, 2009: 28). 

2. Pengungkit operasi 

Perusahaan yang merealisasikan biaya variabel yang lebih rendah karena meningkatkan proporsi biaya tetapnya akan meningkatkan proporsi biaya tetapnya akan meningkat dibandingkan dengan perusahaan dengan proporsi biaya tetap yang lebih rendah. Biaya tetap yang digunakan sebagai pengungkit untuk meningkatkan laba. Sayangnya, perusahaan dengan pengungkit operasi yang lebih tinggi juga akan mengalami pengurangan laba yang lebih besar ketika penjualan turun. Oleh karena itu, pengungkit operasi (operatingleverage) merupakan penggunaan biaya tetap untuk menciptakan perubahan persentase laba yang lebih tinggi ketika aktivitas penjualaan berubah (Hansen dan Mowen, 2009: 29). 

Tingkat pengungkit operasi (degree of operating leverage-DOL) untuk tingkat penjualan tertentu dapat diukur dengan menggunakan rasio margin kontribusi terhadap laba (Hansen dan Mowen, 2009: 29). 


DAFTAR PUSTAKA 


Ahmad Kamaruddin. 2017. Akuntansi Manajemen, Dasar-Dasar Konsep Biaya dan Pengambilan Keputusan. Edisi Revisi. Raja Grafindo Persada. Jakarta 

Blocher, Edward J, dkk. 2010. Cost Managemen: A Strategic Emphasis 5 Edition. New York: McGraw-Hill 

Garrison, Noreen dan Brewer. 2013. Managerial Accounting. Buku 1. Mc Graw Hill. Salemba Empat 

Hansen dan Mowen. 2009. Managerial Accounting. Buku 2. Edisi 8. Cengage Learning. Salemba Empat 

Satriani Saparida, Marheni, dan Lona Miranda. 2015. Analisis Cost Volume Profit sebagai alat perencanaan laba jangka pendek pada CV. Mentari Dempo Indah Pangkal Pinang. Jurnal Ilmiah Akuntansi Bisnis dan Keuangan (JIABK). Volume 3, Issue 2, November 2015. ISSN 2355-9047 

Samryn, L.M. 2013. Akuntansi Manajemen: Informasi Biaya untuk Mengendalikan Aktivitas Operasi & Investasi. Cetakan ke dua. Kencana. Jakarta.

Kasus Gratifikasi dan Uang Suap Ketok Palu dalam Prespektif Seloko Adat Melayu Jambi


Oleh:
Anggie Rizka Safitri


Abstrak: Altikel ini bertujuan untuk mengindentifikasi Etika kepemimpinan pada kasus gratifikasi dan uang suap ketok palu Zumi Zola dalam perspeksitif  Seloko Adat Melayu Jambi. Altikel ini menggunakan metode library research dengan berbagai pendekatan keilmuan. Persoalan yang diangkat dalam artikel ini adalah pelanggaran etika kepemimpinan pada kasus gratfikasi dan uang suang ketok palu dalam perspektif seloko adat Melayu Jambi. Melalui artikel ini dapat disimpulkan bahwa sebagai seorang pemimpin serta menyandang gelar “Sri Paduko Anom Setio Negeri” Zumi Zola telah melanggar etika kepemimpinan dalam perspektif seloko adat melayu, sebagai seorang pemimpin Zumi Zola bersikap: mementingkan kepentingan pribadi, tidak amanah, penyalahgunaan wewenang, dan terlibat konflik kepentingan (self of interest).



Keywords: Etika dalam Kepemimpinan, Gratfikasi, Uang Suap Ketok Palu, Seloko Adat Melayu Jambi


PENDAHULUAN

Pemimpin itu hendaknyo ibarat sebatang pohon, batangnyo besak tempat besandar, daunnyo rimbun tempat belindung ketiko hujan tempat beteduh ketiko panas, akarnyo besak tempat besilo.. pegi tempat betanyo, balik tempat babarito

Kalimat di atas merupakan sebuah petuah sastra adat melayu jambi. Penduduk asli Jambi adalah suku Melayu, yang kemudian bercampur dengan suku Minang dan Arab-Turki. Sebelum Indonesia merdeka, Provinsi Jambi merupakan bekas wilayah Kesultanan Islam Melayu Jambi. Penyebaran Islam di daerah Jambi dimulai dari datangnya seorang ulama dari Turki (menurut referensi lainnya dari Gujarrat) yang bergelar Datuk Paduko Berhala. Nilai-nilai Islam sejak dahulu menjadi nilai terintegrasi dalam kehidupan sosial masyarakat Jambi. Hal ini terlihat dari falsafah yang hidup di tengah masyarakat yaitu, “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”. Dengan demikian, tidak mengherankan jika model pemerintahan adat-tradisional Jambi sangat kental dengan nilai-nilai keislaman yang bercampur dengan budaya Melayu. Nilai-nilai  inilah yang menjadi karakteristik khas kehidupan sosial-politik masyarakat Jambi, sekaligus membedakannya dengan daerah lain (Harun dan Sagala, 2013:66).
         Salah satu produk dari Islam–Melayu ialah lahirnya hukum adat yang disebut seloko adat Jambi. Seloko adat adalah ungkapan yang mengandung pesan, amanat petuah, atau nasihat yang bernilai etik dan moral serta sebagai alat pemaksa dan pengawas norma-norma masyarakat agar selalu dipatuhi. Isi ungkapan seloko adat Jambi meliputi peraturan bertingkah laku dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya dan kaidah-kaidah hukum atau norma-norma, senantiasa ditaati dan dihormati oleh masyarakatnya karena mempunyai sanksi. Ungkapan-ungkapan seloko adat Jambi dapat berupa peribahasa, pantun, atau pepatah-petitih (Nurhasanah, 2004).
            Lebih lanjut seloko adat Jambi tidak sekadar peribahasa, pepatah-petitih, atau pantun-pantun, tetapi lebih dalam lagi seloko adat Jambi merupakan pandangan hidup atau pandangan dunia yang mendasari seluruh kebudayaan Jambi. Seloko adat Jambi sebagai suatu filsafat yang dirumuskan secara eksplisit dalam peribahasa, pepatah-petitih, atau pantun-pantun, tetapi masih bersifat implisit yang tersembunyi dalam fenomena kehidupan masyarakat Jambi. Seloko adat Jambi adalah sarana masyarakatnya untuk merefleksikan diri akan hakikat kebudayaan, pemahaman mendasar dari pesan, dan tujuan dari sebuah kebudayaan (Armansyah, 2017:2).
            Konsep kepemimpinan dalam masyarakat Melayu memiliki dasar-dasar yang sangat kuat dan kokoh. Ia dibangun tidak saja oleh nilai-nilai transendental, namun telah dipraktekakkan sejak berabad-abad yang lalu oleh Nabi Muhammad SAW, para Sahabat dan Al-Khulafa Al-Rasyidin. Pijakan kuat yang bersumber dari Al-qur’an dan As-sunnah serta dengan bukti empriknya telah menempatkan konsep kepemimpinan Islam sebagai salah satu model kepemimpinan masyarakat Melayu (Juswandi, 2012:44).
Bila seorang pemimpin tidak tahu diri, umat binasa rusaklah negeri” ungkapan ini membawa maksud, apabila seorang pemimpin dalam masyarakat melayu tidak tahu diri, tidak tahu hak dan kewajibannya dan tidak memiliki kemampuan untuk memimpin, atau berkhianat, memimpin dengan sewenang-wenang, maka binasalah umat dan binasalah negeri. Ungkapan di atas mencerminkan betapa besarnya pengaruh dan peranan pemimpin dalam menentukkan nasib bangsa dan negaranya. Oleh sebab itu orang Melayu amatlah berhati-hati, hormat dan cermat dalam memilih pemimpinnya. Di dalam budaya melayu pemimpin amatlah beragam, mulai dari pemimpin rumah tangga, dusun kampung sampailah kepada bangsa (Juswandi, 2012: 43).
Indonesia saat ini sedang mengalami krisis kepemimpinan sehingga semakin sulit ditemukannya figur-figur pemimpin teladan yang dapat menjadi panutan bagi generasi muda. Hal ini terlihat dengan semakin banyaknya kasus korupsi yang di pertontonkan para pemimpin Indonesia di seluruh daerah. Budaya korupsi merusak dan menggerogoti sendi-sendi berbangsa dan bernegara di berbagai pelosok nusantara baik pemerintahan, pelayanan, pendidikan kesehatan dan pembangunan (Hendrawan, 2013).
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menuntut Zumi Zola dengan pidana delapan tahun penjara. Politikus PAN tersebut juga dituntut untuk membayar denda sebesar Rp1 miliar subsidair enam bulan kurungan. Dalam tuntutannya, jaksa meyakini bahwa Zumi Zola terbukti menerima gratifikasi sebesar Rp44 miliar dan satu unit mobil Alphard. Jaksa juga menyatakan bahwa Zumi Zola bersalah telah menyuap anggota DPRD Jambi sebesar Rp16,34 miliar. Uang Rp16,34 miliar tersebut diduga untuk memuluskan ketok palu Rancangan Peraturan Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Jambi tahun anggaran 2017-2018.
Sebagaimana diketahui bahwa beberapa bulan sebelum terkuaknya kasus tersebut. Zumi Zola telah diaanugerahi gelar adat oleh Lembaga Melayu Jambi (LAM). Oleh LAM Jambi, Zumi Zola diberi gelar kehormatan adat, yakni “Sri Paduko Anom Setio Negeri”. Sementara, sang istri mendapatkan penghargaan gelar adat Karang Setyo. Gelar kehormatan adat Sri Paduko Anom Setio memiliki makna bahwa seorang pemimpin muda yang cerdas dan amat dimuliakan serta dicintai oleh masyarakat dan juga tidak lari dari tanggung jawab untuk membangun negeri Jambi (liputan6.com, 2018). Jika dilihat dari makna gelar tersebut yang dapat diartikan sebuah pengharapan seoang pemimpin yang setia membangun negeri, namun kasus yang menjerat Zumi Zola sangat bertentangan dengan gelar adat yang diterimanya. Gelar tersebut seakan kehilangan arti dirusak oleh ketidakjujuran seorang pemimpin yang seharusnya menjadi pelindung dan pengayom rakyatnya.
Penelitian mengenai penerapan nilai-nilai Adat Melayu Jambi sudah cukup banyak dilakukan oleh beberapa peneliti. Salah satunya seperti penelitian yang dilakukan oleh (Nofriyandi dan Utsman, 2018) dengan menghubungkan penerapan nilai-nilai dengan mewudkan Good Governace di Kota Jambi dengan kontes nilai adat Melayu Jambi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa penerapan nilai-nilai adat melayu Jambi dalam mewujudkan Good Governace di lingkungan Kota Jambi sudah dilakukan dengan baik. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh (Al Munir et al, 2013) yang melakukan peneltiain mengenai etika kepemimpinan dalam Seloko Adat Melayu Jambi. Hasil penelitian ( Al Munir et al, 2013) ini menyatakan bahwa seorang pemimpin harus memiliki moral yang baik, ditandai dengan sifat-sifat berikut: tulus, lembut, adil, murah hati dan bijaksana.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis ingin mengkolaborasi lebih jauh persoalan kasus gratifikasi dan suap ketok palu yang menimpa mantan Gubernur Zumi Zola, dalam sebuah artikel ilmiah dengan mendasarkannya pada sastra adat Jambi berupa seloko adat Melayu Jambi yang di dalamnya melingkupi berbagai aturan yang berisi anjuran-anjuran dan larangan-larangan bagi para pemimpin. Elaborasi dalam bentuk artikel ilmiah ini juga menjadi penting sebagai salah satu bentuk revitalisasi budaya lokal Jambi. Dan demi keperluan tersebut artikel ini menggunakan etika dari sudut pandang kepemimpinan sebagai pisau analisis.  Maka penelitian ini akan menjawab rumusan masalah “Bagaimana etika kepemimpinan pada kasus gratifikasi dan uang suap ketok palu Zumi Zola dalam prespeksi seloko adat Melayu Jambi?”


Mengungkap Makna Laba dalam Prespektif Pedagang Kaki Lima Di Kawasan Tugu Keris Siginjai dan Taman Pedistrian Jomblo : Sebuah Studi Fenomenologi



1.1 Latar Belakang
Istilah Pedagang Kaki Lima atau PKL, sudah tidak asing lagi di telinga dan selalu kita jumpai di perkotaan Indonesia. Mereka berjualan di trotoar jalan, di tamantaman kota, di jembatan penyebrangan, bahkan di badan jalan. Problem kemacetan lalu lintas dan merusak keindahan kota menjadi sorotan yang tidak baik bagi PKL. Tetapi PKL ini berjuang untuk menghidupi keluarga dan menyambung  hidupnya,  maka  PKL  juga  tidak  terlepas  dengan  kehidupan ekonomi yang harus kita perhatikan untuk diteliti kaitannya dengan akuntansi. Dengan kata lain, bahwa akuntansi tidak terbatas hanya pada profesi akuntansi, melainkan  semua  umat  manusia  yang  melakukan  bisnis  baik  lingkup  besar maupun kecil dalam kehidupannya membutuhkan yang nama-nya akuntansi (Ubaidillah dkk, 2017).
Pedagang kaki lima tidak bisa dihapuskan dalam tatanan sosial ekonomi di Indonesia. Jika kita biasa mengasumsikan bahwa pedagang kaki lima sebagai solusi, maka perekonomian di Indonesia dapat terbangun dari level yang sangat kecil. Usaha kecil ini dapat menolong banyak masyarakat yang benar benar berada dalam kondisi tidak baik, menjadi masyarakat yang mampu memberikan penghidupan yang layak bagi dirinya sendiri (Prasetyo, 2012).
PKL adalah salah satu sektor informal yang banyak terdapat di perkotaan. Keberadaan PKL di perkotaan mampu menyediakan lapangan kerja baru. Banyak orang menjadikan pedagang kaki lima sebagai pilihan alternatif bagi yang tidak di sektor formal. Jadi keterlibatan dalam sektor informal lebih berakibat karena keterpaksaan saja dibanding sebagai pilihan, hal initerjadi karena tekanan dari sistem   ekonomi   yang   tidak   memberikan   tempat   bagi   mereka   yang  tidak mempunyai pendidikan dan keterampilan yang mencukupi (Rachbini, D. J dan A.Hamid 1994: 57 dalam Agus Sulilo, 2011). Sektor informal (PKL) menjadi alternatif, karena mudah memasukinya, tidak perlu keterampilan khusus, serta pasar yang komperatif, sehingga hal ini dapat menekan angka pengangguran dakemiskinan. Sektor informal terus berkembang dalam menyerap tenaga kerja yantidak    tertampung    dalam    sektor    formal,    hal    ini    dikemukakan    oleWirahadikusumah (dalam Agus Susilo, 2011).

Setiap kota tak terpisahkan dari keberadaan PKL, tidak terkecuali dengan Kota Jambi. Penelitian ini berfokus pada para Pedagang Kaki Lima (PKL) di sepanjang Taman Pedistrian Jomblo dan Tugu Keris Siginjai Jambi. Kawasan Tugu Keris Siginjai merupakan salah satu tujuan wisata yang ada di kota Jambi. Letaknya persis di bundaran kompleks perkantoran pemerintah Kota Jambi. Tak heran, kawasan ini menjadi daerah perlintasan yang setiap hari dilalui warga. Sebelum  mengalami  renovasi,  kawasatersebut  bernama TugWilayah  Kota Baru dengan ornamen yang dipasang persis dengan tugu Monas di Jakarta. Warga menyebutnya Monas Jambi atau replika Monas. Pemkot Jambi akhirnya merenovasi tugu tersebut dan telah diresmikan pada Desember 2017. Ornamen yang digunakan nyaris dirombak total dan namanya pun mengalami perubahan menjadi Tugu Keris Siginjai, nama yang merujuk pada senjata tradisional khas Jambi yang pernah digunakan di masa-masa perjuangan kemerdekaan. Kawasan ini memiliki multifungsi. Pada pagi dan sore hari (terutama hari libur), banyak warga yang berkumpul disana untuk sekadar bersantai menikmati pemandangan sekitar kawasan, berswafoto atau berolahraga. Pemerintah kota juga menyelenggarakan acara rutin bertajuk "Car Free Night" pada setiap hari Sabtu malam di kawasan tersebut. Acara yang selalu berhasil mengundang keramaian karena diisi dengan berbagai atraksi pertunjukan musik dan budaya yang ditampilkan oleh masing-masing perwakilan kecamatan.
Kawasan Tanam Pedistrian Jomblo dan Tugu Keris Siginjai yang menjadi area rekreasi gratis ini dimanfaatkan oleh para Pedagang Kaki Lima ini untuk meraup rejeki. Mulai dari rujak, mie ayam, bakso bakar, pempek bakar, hingga es tebu lengkaada di sini. Selain itu terdapat hayang menarik, pada dinding bagian bawah tugu ini tercantum beberapa gambar dan tulisan yang bernilai edukasi sejarah. Ihwal "Keris Siginjai" misalnya, digambarkan dengan cukup lengkap dan detail, mengenai riwayatnya bahkan keunikannya Terus terang, saya sendir merasaka manfaatny sambil   berolahrag pagi”   Kat Soekarno,
pengunjung Tanam Pedistrian Jomblo di kutip dari (Kompasiana.com).

Meski banyak meraih apresiasi. Lokasi jalan seputaran Tugu Keris Siginjai yang dialih fungsikan sebagai lokasi PKL dan sarana hiburan rakyat. Juga banyak mendapatkan kritiskan keras dari berbagai pihak. Di kutip dari jambipos- online.com. Sejumlah warga Kota Jambi menolak kebijakan Syarif Fasha tersebut. Jadi  jalan  di  lokasi  tersebut  tidak  bisa  dilalui  kendaraan  dari  segala  arah. Kebijakan Syarif Fasha yang tak ramah fasilitas umum ini telah menggangu hak publik pengguna jalan.Tidak punya inovasi. Masa jalan umum dijadikan sebagai area Pedagang Kaki Lima (PKL) dan hiburan jalanan. Jalan itu untuk akses publik bukan untuk kepentingan segelitir kelompok saja”. Ujar Irwan, warga perumnas Jelutung,  Kota  Jambi.Dan  tak  sedikit   yang  menyarankan   agar  para  PKL dikawasan Tugu Keris Seginjai agar lebih tertata lagi.
Meskipun  keberadaan  PKL  sering  dikaitkan  dengandeterminan- determinan sosial seperti pendapatan rendah, pekerjaan tidak  tetap,  pendidikan tidak  memadai,  kemampuan  berorganisasi yang rendah dan unsur-unsur ketidak pastian, ternyata PKL tidak luput dari hukum persaingan bisnis, solidaritas sosial, jaringan sosial sesama mereka dikemukakan oleh Damsar (2002) dalam (Bukhari, 2017).  Banyaknya Pedagang  Kaki  Lima di  kawasan  Tugu  Keris  Siginjai  dan Pedistrian Jomblo membuat persaingan dalam sistem penjualan tak dapat terhindarkan.  Misalnya  seperti  pembagian  lapak  atau  kios  dan  kurangnya kerjasama serta persaingan harga dan persaingan pelanggan.
Pada umumnya semua usaha yang didirikan mempunyai tujuan untuk mendapatkan laba yang semaksial mungkin. Laba merupakan sumber hidup untuk berjalannya suatu usaha. Seseorang pedagang kaki lima merupakan manusia yang memiliki kebutuhan-kebutuhan dalam kehidupannya. Pedagang kaki lima juga sama dengan kebanyakan yang memiliki kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi. Kenaikan berbagai harga yang juga tentu mempengaruhi pekerjaan dan kebutuhan hidup seorang pedanga kaki lima. Dengan kebutuhan yang cukup banyak pula dan juga dengan penghasilan yang tidak menentu (Asiyah dan Nyoman, 2017).
Laba akuntansi, baik sebagai kata maupun angka adalah sebuah teks. Interpretasi laba akuntansi sebagai teks, tidak dapat dilepaskan dari konteks, yaitu tergantung   pada   siapa   yang   menafsirkan,waktu,   situasi,   kepentingan   atatujuanpembacaan, pengetahuan, kebiasaan, pengalaman, serta latar belakang lainnya. Dengan latar pendidikan yang rendah pedagang kakilima tentu memiliki pemahaman sendiri dalam melakukan aktivitas operasi serta konsepsi pendapatan/laba mereka. Dari beberapa hasil penelitian yang sejenis menunjukkan bahwa pedagang kaki lima memiliki konsep laba yang unik yang terbentuk dari pemahaman serta pengalaman selama mereka beroperasi (Asiyah dan Nyoman, 2017).

Laba yang selalu identik dengan bentuk fisiknya berupa uang telah menggeser arti laba yang sesungguhnya. Penafsiran laba saat ini telah didominasi oleh hal-hal yang bersifat material, sehingga hal ini akan menciptakan individu- individu yang materialistik. Namun tidak semua pelaku usaha menjadikan laba materi sebagai tujuan utama, lebih dari itu terdapat substansi logis dibalik angka- angka laba. Substansi tersebut berusaha menyadarkan pelaku usaha untuk terbebas dari pikiran materialistik tentang laba.
Barang  siapa  yang  menghendaki  keuntungan  di  akhirat  akan  Kami tambah keuntungan-keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagiapun di akhirat (QS. Asy Syura: 2).
Dari segi spiritual, laba sejatinya telah difirmankan oleh Allah SWT dalam bentuk keuntungan yang semata-mata didapatkan di dunia untuk mencapai ridho- nya. Dunia adalah kehidupan sementara yang semuanya akan dipertanggungjawabkan di kehidupan yang kekal. Begitu pula keuntungan yang telah diusahakan manusia di dunia juga akan dipertanggungjawabkan. Pertanggungjawaban ini menyebabkan manusia seharusnya tidak memupuk keuntungan duniawi semata, akan tetapi dengan sepenuh hatinya menghendaki keuntungan di akhirat. Pemahaman mengenai keuntungan tersebut tentu saja akan membawa laba pada arti yang sesungguhnya. Hal ini mengindikasikan bahwa sebenarnya laba bukan hanya sekedar materi, akan tetapi laba memiliki sisi mental dan spiritual yang didapatkan, diproses, dan disalurkan secara halal (Triyuwono, 2015 dalam Marantika, 2017).
Beberapa penelitian sebelumnya mengenai pemaknaan laba dengan pendekatan kualitatif telah dilakukan. Yaitu penelitian yang dilakukan oleh SintyMarantika (2017). Penelitiannya mencoba mengungkapkan makna laba akuntansi dalam   prespektif   pelaku   usaha   kecil.   Dengan   pengumpulan   data   melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Wawancara dilakukan secara mendalam untuk menggali kesadaran individu dengan pertanyaan semi terstruktur. Hasil penelitian Sintya Marantika (2017) ini menemukan tiga makna laba akuntansi. Pertama, laba dimaknai sebagai keikhlasan dalam bentuk percaya rezeki berasal dari Tuhan, jujur dan optimis, serta mengedepankan kualitas produk. Kedua, laba dimaknai sebagai sarana pembayaran dalam bentuk uang. Ketiga, laba dimaknai sebagai rasa syukur dalam bentuk sedekah sepenuh hati dan biaya hidup. Tiga makna tersebut kemudian disinergikan, makna keikhlasan dalam dimensi perolehan, makna sarana pembayaran dalam dimensi pemrosesan, dan makna rasa syukur dalam dimensi pengeluaran.
Penelitian selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Asiyah dan Nyoman (2017). Yang mengalisis makna keutungan menurut pedangang kaki lima di sepanjang jalan ahmad yani singaraja. Jumlah informan dalam penelitian ini sebanyak 10 orang dengan jenis dagangan penjual nasi kuning sebanyak 9 orangdan penjual es kelapa sebanyak 1 orang.  Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa makna keuntungan yang terdapat dalam setiap kehidupan pedagankaki  lima  sebagai  informan  dapat  digali  danditafsirkan  sehingga terdapat dua makna keuntungan. Makna yang pertama yaitukeuntungan materi dalam bentuk simpanan yang digunakan untuk memenuhikebutuhan hidup sekarang maupun nanti dimasa yang akan datang. Makna yangkedua yaitu keuntungan spritual yang terlihat dari kemauan pedagang kaki lima untuktetap melaksanakan perintah Allah SWT dalam bentuk sumbangan.
Pemilihan profesi pedagang kaki lima, bukan profesi yang lain, didasarkan adanya hubungan yang erat antara profesi pedagang kaki lima, uang dan masyarakat. Profesi pedagang  kaki  lima,  masyarakat  dan  uang merupakan sebua lingkara yang tida berujung Ketigany saling   berkaita dan berhubungan dalam berbagai lingkaran kehidupan. Profesi pedagang kaki lima memang selalu bersentuhan dengan masyarakat. Namun, tetap ada alat temu di antara  kedua  pihak,  yaitu  uang.  Hal  ini terus  menerus bergulir  dan  tidaterhenti. Selama terdapat masyarakat yang membutuhkan pedagang kaki limamaka profesi pedagang kaki lima akan selalu ada. Uang kemudian akan menjadi pengikut setia terutama bagi mereka yang membutuhkan barang dagangan dan bertitik akhir padapedagang kaki lima itu sendiri (Sari, 2010).   Oleh sebab itu, pertanyaan yang menjadi pokok pemikiran dalam penelitian ini adalah bagaimana pedagang kaki lima memaknai laba yang sebenarnya dalam hidup mereka.



         1.2   Rumusan Masalah

Keberadaan pedagang kaki lima yang sering dikaitkan dengandeterminan- determinan sosial seperti pendapatan rendah, pekerjaan tidak  tetap,  pendidikan tida memadai,  kemampua berorganisasi yang rendah dan unsur-unsur ketidakpastian  serta  persaingan dalam  penjualan  PedaganKaki  Lima  (PKL) tentu memiliki   pemahaman sendiri dalam melakukan aktivitas operasi serta konsepsi mengenai pendapatan/laba mereka. Dari beberapa hasil penelitian yang sejenis menunjukkan bahwa pedagang kaki lima memiliki konsep laba yang unik yang  terbentuk  dari  pemahaman  serta  pengalaman  selama  mereka  beroperasi. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan Bagaimana para Pedagang Kaki Lima (PKL) di kawasan Tugu Keris Siginjai dan Pedistrian Jomblo memaknai laba dalam hidup mereka?


         1.3       Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian adalah ingin mengetahui pemaknaan laba” dalam prespektif  PedaganKaki  Lima  (PKL)  di  kawasan  Tugu  Keris  Siginjai  dan Taman Pedistrian Jomblo. Bagi masyarakat, penelitian ini   diharapkan dapat bermanfaat untuk membuka mata tentang profesi pedagang kaki lima, di luar pandangan positif ataupun negatif yang selama ini beredar di ruang masyarakat. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat bagi kalangan akademik yang ingin melihat makna labadari sudut pandang yang berbeda serta bagi mereka yang ingin mengembangkan penelitian kualitatif dalam penelitiannya.



Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP) : Pengertian, Tujuan, Indikator dan Temuan atas Kelemahan SPIP

Sistem Pengendalian Internal  Pemerintah       Sistem Pengendalian Internal diperlukan oleh semua entitas dalam pelaksanaan kegiatan operais...