Hijrah

Perlahan-lahan, aku tinggalkan hal duniawiku..
Untuk Hijrahku yang diridhoi Allah

Meninggalkan hal duniawiku tidaklah gampang untukku
Sungguh godaan dunia sangantlah membuatku terlena

Tapi jika ku terus terlena dengan dunia, 
maka aku tak tahu lagi kematianku kelak seperti apa.
Dunia dan akhirat sangat berbeda, maka ku pilih akhirat untuk hidupku nanti.
Ku pilih memperbaiki didriku, ku pilih untuk berhijrah di jalan Allah

Dunia memang hanyalah sementara, ku rasakan kesenangan, kebahagian, namun apa yang kudapatkan ? hanyalah kepedihan suatu nanti, dosaku bertambah dan semuanya sia-sia
Dulu ku terus berharap bahwa aku ingin hidup lama didunia, namun ternyata ku slaha, hidup ita dimulai itu di akhirat bukan di dunia.
Dunia hanyalah tempat persinggahan kita sementara, 
Allah uji kita didunia,Allah memberikan kenikmatan yang banyak dan kesenangan yang berlimpah .dunia hanyalah tempat kita belajar untuk hidup,apa yang telah kita lakukan semasa hidup kita.

bekal ke akhirat adalah amal,perbuatan baik dan mengamalkan alqur'an,as-sunnahNya .

Sungguh,maafkan aku jika kesetiaanku terhadap dunia membuatku lupa akan kesetiaanku terhadapMu..RabbiKu.

Akulah seorang pendosa yang memimpikan syurgaMu,berjalan di jalanMu,aku tak ingin berlama-lama terlena dengan kesenangan dunia.buatlah aku menjadi pribadi yang terus mencintaiMu .

kartika pratiwi 27/4/2015 
3d

Ig:@ikacupruk

Kisah Islamnya Abu Bakar As-Siddiq Radhiallahu'anhu

Hijrahnya Rasulullah shallallahu’alaihi Wasallamdan Abu Bakr
Abu Bakar As Siddiq Radhiallahu’anhu adalah manusia paling agung dalam sejarah Islam sesudah Rasulullah shallallahu’alaihi Wasallam. Kemuliaan akhlaknya, kemurahan hatinya dalam mengorbankan harta benda dan kekayaannya untuk Islam, kebijaksanaannya dalam menyelesaikan masalah umat, ketenangannya dalam menghadapi kesukaran, kerendahan hatinya ketika berkuasa serta tutur bahasanya yang lembut lagi menarik adalah sukar dicari bandingannya baik dahulu mahupun sekarang.
Dialah termasuk Seorang Tokoh yang paling akrab dan paling disayangi Rasulullah Shallallahu’alahi wasallam. Nama sebenarnya  Abu Bakar As Siddiq Radhiallahu’anhu adalah Abdullah bin Qahafah. Sebelum Islam, beliau adalah seorang saudagar yang sangat kaya dan dari keluarga bangsawan yang sangat terhormat  dikalangan masyarakat Quraisy. Bahkan sebelum memeluk agaman Islam , Abu Bakar Radhiallahu’anhu terkenal sebagai seorang pembesar Quraisy yang tinggi akhlaknya dan tidak pernah minum arak sebagaimana biasa dilakukan oleh pembesar-pembesar Quraisy yang lain.
Dari segi umur, Abu Bakar Radhiallahu’anhu,  dua tahun lebih muda dari Rasulullah Shallallahu’alahiwasallam dan telah menjalin persahabatan yang akrab dengan Nabi,  jauh  sebelum Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam  menjadi Rasul. Beliaulah tokoh besar , sahabat yang paling banyak menafkahkan harta bendanya dalam rangka  menegakkan Islam di samping Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam .
Besarnya pergorbanan beliau itu, membuat Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam  pernah mengatakan bahwa Islam telah tegak di atas harta Siti Khadijah radhiallahu’anha dan pergorbanan  Abu Bakar Radhiallahu’anhu. Adapun gelar As Siddiq yang dberikan kepadanya itu adalah karena sikapnya yang selalu membenarkan  kata-kata atau perbuatan Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam.
Dalam hal ini baiklah kita petik sebuah kisah seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud yang diceritakan sendiri oleh  Abu Bakar, tentang bagaimana  Abu Bakar Radhiallahu’anhu memeluk agama Islam.
Kata  Abu Bakarhiallahu’anhu , “Aku pernah mengunjungi seorang tua di negeri Yaman. Dia rajin membaca kita-kitab dan mengajar murid muridnya. Dia berkata kepadaku:
“Aku Yakin  tuan datang dari Tanah Haram.”
“Benar,” jawabku.
“Aku yakin  tuan berbangsa Quraisy?”
“Benar,” ujarku lagi.
“Dan apa yang aku lihat, tuan dari keluarga Bani Tamim?”
“Benarlah begitu,” tambahku selanjutnya.
Sambungnya Orang tua katanya, “ Ada satu hal yang perlu aku tanyakan dari tuan, tentang diri tuan sendiri. Apakah boleh saya  melihat  perutmu?”
Maka  jawabku spontan,” Aku keberatan untuk membuka bajuku sebelum tuan tidak menjelaskan apa maksudnya?.”
Kata orang itu selanjutnya :, “Aku melihat menurut  ilmuku yang benar , bahwa seorang Nabi Allah akan di utus  di Bumi  Haram. Nabi itu datang dan akan dibantu oleh dua orang sahabatnya, yang seorang masih muda dan seorang lagi sudah separuh umur. Sahabatnya yang muda itu berani berjuang dalam segenap lapangan dan menjadi pelindungnya dalam semua kesusahan. sedangkan yang separuh umur itu putih kulitnya dan berbadan kurus, ada tahi lalat di perutnya dan ada suatu tanda di paha kirinya. Apakah salah kalau anda menampakkan kepadaku.”
Karena alasan orang tua  tersebut, lalu  aku pun membuka pakaianku  orang tua itu pun melihat tahi lalat  di atas bagian pusarku sambil berkata, “Demi Tuhan yang menguasai Ka’bah, engkaulah orangnya !”
Kemudian orang tua itu pun memberi sedikit nasihat kepadaku. Aku tinggal di Yaman untuk beberapa waktu karena urusan bisnis,  dan sebelum meninggalkan negeri itu, aku datang lagi bertemu orang tua tersebut untuk mengucapkan selamat tinggal kepadanya. Kemudian dia lalu bertanya, “Bisakah tuan, aku memberikan beberapa  bait  syairku?”
“Bisa saja,” jawabku.
Setelah itu,  aku pun membawa pulang syair-syair itu ke Mekah. Setibanya aku di Mekah, para pemuda bergegas datang menemuiku sambil berkata, “Apakah engkau tau apa yang sudah terjadi?”
Maka ujarku;, “Apakah yang terjadi itu?”
Jawab mereka, “Si yatim Abu Talib sekarang mengaku menjadi Nabi! Kalaulah kami tidak berpikir engkau wahai Abu Bakar, sudah lebih dulu kami selesaikan dia. Engkaulah yang kami harapkan bisa menyelesaikannya.”
Kemudian aku pun meminta mereka pulang,  sedangkan  aku sendiri pergi menemui Muhammad. Setelah bertemu beliau  aku pun mengatakan, “Wahai Muhammad, engkau telah mencedrai kedudukan keluarga tuan dan aku diberi tahu, kalau  tuan sengaja menyimpang dari ajran nenek moyang kita,  Maka ujar Nabi, “Bahwa aku adalah Pesuruh Allah yang diutuskan untukmu dan untuk seluruh umat!”
Lalu  Aku bertanya Nabi :, “Apa buktinya?”
Jawabnya :, “Orang tua yang engkau temui di Yaman tempoh hari.”
Aku menambah lagi, “Orang tua yang mana yang tuan maksud,  karena banyak orang tua yang aku temui di Yaman itu?”
Nabi menjawab :, “Orang tua yang memberikan  untaian syair kepada engkau!”
 Aku terkejut mendengar jawabanya, karena hal itu tidak seorangpun  yang mengetahuinya. Aku bertanya:, “Siapakah yang telah memberi tahu tuan, wahai sahabatku?”
Jawab Nabi , “Malaikat yang pernah menemui nabi-nabi sebelumku.”
Akhirnya aku berkata, “letakkan tangan tuan, sesungguhnya aku bersaksi tiada Tuhan yang ku sembah melainkan Allah, dan Engkau (Muhammad) adalah rasul Allah
Demikian kisah indah yang meriwayatkan perjalanan  Islamnya  Abu Bakar as Siddiq Radhiallahu’anhu. Dan memang benar  menurut riwayat, beliau merupakan laki laki pertama yang beriman kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.
Ke –Islam-an Abu Bakar As Siddiq  telah membawa pengaruh besar di kalangan  bangsawan Quraisy,  karena sebab pengaruh keislamannya itulah maka beberapa orang pemuda bangsawan Quraisy seperti,  Usman bin Affan ,  Abdul Rahman bin Auf, dan  Saad bin Waqqas Radhiallahu’anhum  mengikuti jejak langkahnya [memeluk Islam].
Semenjak memeluk Islam, Abu Bakar  telah menjadi paling terdepan membela Islam, di samping  seorang sahabat yang paling akrab serta paling dicintai Rasulullah SAW. Seorang sahabat, Amru bin Al As RadhiAllahu’anhu  pernah suatu hari betanya pada Rasul, “Siapakah di antara manusia yang paling engkau cintai ya Rasulullah?”
Jawab Nabi, “Siti Aisyah dan kalau pria  adalah bapanya.” 
Selain itu,  Abu Bakar as Siddiq Radhiallahu’anhu terkenal dengan keteguhan imannya, cerdas akal, tinggi akhlak, lemah lembut dan santun. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pernah bersabda:
“Jika  iman Abu Bakar As Siddiq berada dalam sebuah timbangan  dengan iman sekalian umat maka lebih berat  iman Abu Bakar.”
Demikian teguhnya iman  Abu Bakar Radhiallahu’anhu. Gelar As Shiddiq yang diberikan pada dirinya itu karena sebab sikap dan  pendiriannya yang teguh dalam membenarkan serta membela diri Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Andaikan seluruh umat manusia mendustakan Muhammad shallallahu’alaihi wasallam sebagai nabi, Abu Bakar  pasti akan tampil dengan penuh keyakinan untuk membelanya.
Setelah memeluk Islam,  Abu Bakar menyerahkan seluruh kekayaan, jiwa dan raganya dalam  perjuangan  menegakkan Islam bersama Nabi Muhammad SAW. Beliau telah mengorbankan seluruh harta bendanya untuk menebus orang-orang yang ditawan, orang-orang yang ditangkap atau disksa. Beliau juga telah membeli para budak,  kemudian dimerdekakannya. Salah seorang daripadanya adalah  Bilal bin Rabah r.a.
Ketika Nabi Muhammad SAW selesai melakukan Isra’ dan Mi’raj,  sekelompok orang yang kurang percaya dengan kabar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, segera mendatangi  Abu Bakar  guna  mendengarkan pandangan  tentang kisah perjalanan Nabi  Muhammad Shallallahu’alahi wasallam itu, apakah benar atau tidak.
Sebaik mendengarnya,  Abu Bakar terus berkata,” Adakah Muhammad berkata begitu?”
Sahut mereka, “Benar!”
Maka ujar  Abu Bakar r.a, “Jika Muhammad menceritakan begitu maka sungguh benarlah apa yang diceritakan itu.”
Lalu mereka pun terus menyambung, “Engkau percaya hai Abu Bakar bahwa Muhammad sampai ke tanah Syam yang jauhnya sebulan perjalanan, hanya dalam satu malam?”
Kata  Abu Bakar tegasnya:, “Benar! Aku percaya! Malah lebih dari itu pun aku percaya kepadanya. Aku percaya akan berita dari langit yang diberitakannya, baik pada waktu siang maupun  malam!”
Demikian hebatnya keyakinan sahabat yang paling utama ini. Jawabannya tegas dan teguh iman beliau terhadap agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam dan terhadap ucapan  yang dikabarkan oleh beliau,  maka karena Abu Bakar membenarkan perkataan Rasulullah tersebut , lalu beliau telah diberi gelar As-Siddiq, artinya yang membenarkan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.
Tidaklah mengherankan sikap Abu Bakar itu. Beliau telah lama mengenali Muhammad shallallahu’alaihi wasallam, bukan sehari dua hari. Beliau tahu bahwa sahabatnya, Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam  sentiasa benar, tidak pernah bohong hingga mendapat gelar   Al Amin.
Pada saat  kekejaman musyirikin Quraisy terhadap kaum muslimin di Mekah semakin memilukan  dan membahayakan, Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam mengajak  Abu Bakar r.a supaya menemaninya dalam hijrah tersebut. Dengan perasaan gembira tanpa sedikit ragu Abu Bakar  menyambut ajakan  Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam.
Dari pintu belakang rumah  Abu Bakar r.a, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersamanya  menuju ke Gua Tsur dan bersembunyi dari kejaran musuh. Ketika suasana menegangkan yang membaur dalam rasa takut dan gundah,  Abu Bakar r.a menjadi resah gelisa  khawatir kalau musuh  menemukan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam yang  bersembunyi dengannya, maka turunlah ayat suci Al Quran dari Surah At Taubah yang isinya memuji Abu bakar As Sidiq, sebagai  orang kedua sesudah Nabi Muhammad SAW dalam Gua Tsur. Dengan perasaan Abu Bakar,  Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam mengerti kegelisahan sahabatnya, Abu bakar . Lalu sabda Rasul shallallahu’alaihi wasallam, “Apakah yang membuat kamu gelisah, bukankah Allah bersamamu?”
Kemudian Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “kalau mereka masuk juga ke dalam gua ini, kita masih dapat melepaskan diri dari pintu belakang itu,” ujar Rasulullah  sambil menunjuk ke arah mereka.
Abu Bakar Radhiallahu’anhu  menoleh ke belakang. Betapa terkejutnya beliau ketika melihat pintu belakang yang ditunjuk Rasulullah tersebut, padahal pintu tersebut sebelumnya tidak ada. Sebenarnya keraguan  Abu Bakar radhiallahu’anhu  di dalam gua itu bukanlah karena takut nyawanya hilang di bantai musuh,  tetapi yang lebih memprihatinkan  adalah keselamatan jiwa  Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam.
Beliau  berkata kepada  Nabi saw:,”Yang aku takutkan bukanlah diriku sendiri. Kalau aku  terbunuh, aku hanyalah seorang manusia biasa. Tapi andaikan engkau sendiri yang terbunuh, maka yang akan mati adalah Islam.”
 Ucapan antara dua orang sahabat  dalam gua tersebut di dalam Al-Quran pada Surah At-Taubah ayat 40:“Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: "Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita". Maka Allah menurunkan keterangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Al-Quran menjadikan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana..”
Demikian satu lagi keistimewaan Abu Bakar As Shiddiq sebagai seorang sahabat yang mengalami kesulitan dan kepahitan bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dalam menyampaikan seruan Islam. Abu Bakar r.a tidak pernah terpisah  dengan  Rasul sepanjang hidupnya dan selalu turut serta semua peperangan yang dihadapi nabi. Beliau bukan saja berjuang menegakkan aqidah  Islam dengan segenap jiwa raganya,  bahkan  dengan harta kekayaannya. Beliaulah yang paling banyak menafkahkan hartanya dijalan Allah, dalam rangka tegaknya agama Islam. Bahkan seluruh kekayaannya  habis digunakannya untuk kepentingan perjuangan menegakkan kalimah Allah. Di kalangan para sahabat beliaulah tergolong orang yang paling murah hati dan dermawan.
 Dalam perang Tabuk misalnya, Rasulullah SAW telah meminta kepada seluruh kaum Muslimin agar mengorbankan harta pada jalan Allah. Lalu  datanglah Abu Bakar radhiallah membawa seluruh harta bendanya lalu meletakkannya di hadapan baginda Rasul. Melihat banyaknya harta yang dibawa oleh Abu bakar r.a yang dianggarkan untuk  jihad,  Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam  terkejut lalu berkata padanya:
 “Wahai Abu Bakar, kalau  semua hartamu kau nafkahkan di jalan Allah, apa lagi yang akan engkau tinggalkan buat anak anak dan isterimu?”
Abu Bakar As Siddiq r.a dengan tenang menjawab, “Saya tinggalkan buat mereka Allah dan Rasul-Nya.”
Demikianlah hebatnya jiwa Abu Bakar As Siddiq Radhiallahu’anhu,  adalah sosok murah hati dan dermawan yang memang tidak akan pernah dijumpai semisalnya di dunia ini. Melihat besarnya  pengorbanan beliau terhadap Islam maka wajarlah kalau Rasulullah bersabda bahawa tegaknya agama Islam itu lantaran harta benda Siti Khadijah dan juga Abu Bakar as Siddiq. Pantaslah jika kiranya iman dan amal  Abu Bakar radhiallahu’anhu dibandingkn dengan iman seluruh umat manusia,  maka lebih berat lagi iman dan amal Abu Bakar Radhiallahu’anhu. Beliau memang manusia luar biasa, kebesarannya telah ditakdirkan oleh ALLAH SWT untuk menjadi teman akrab Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam .
 Suatu ketika di saat Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam berkhutbah,  antara lain Sabdanya:  “…kepada seorang hamba Allah, mereka itu adalah  yang apabila ditawarkan  memilih dunia atau memilih pahala  di sisi Allah, dan hamba Allah tersebut tidak akan memilih dunia, melainkan memilih apa yang tersedia di sisi Tuhan…”
 Maka ketika mendengar khutbah Nabi demikian itu,  Abu Bakar,  lalu menangis berurai air mata,  karena pilu dan haru mendengar dan mengerti bahwa yang dimaksudkan dalam isi khutbah tersebut adalah:” bahwa umur kehidupan Rasul di dunia ini  hampir berakhir. Itulah kelebihan Abu Bakar  dibanding dengan para sahabat yang lain,  karena beliaulah yang mengetahui bahwa umur Rasul sudah dekat.
 Keunggulan beliau dapat di panggung sejarah dapat dibaca dengan jelas setelah wafatnya Rasulullah shallallahu’alaihi Wasallam, ketika umat Islam panik dan  tidak percaya kalau Rasullah wafat. Ketika itu Abu Bakar sedang berada di Kampung As Sunnah, waktu mendengar  berita wafatnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, beliau  segera menuju ke Madinah. Abu Bakar melangkah cepat menuju  rumah puterinya Siti Aisyah dan stibanya di rumah Aisyah,  beliau melihat  tubuh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam terbujur kaku di satu sudut di rumah. Beliau lantas membuka wajah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dan mencium  keningnya, sambil berkata,”Wahai, betapa cantiknya engkau ketika hidup dan betapa cantiknya ketika engkau ketika mati!”
Kemudian beliau keluar menghadapi orang orang  yang sedang panik hesteris,  lalu beliau berkata dengan nada keras:
“Wahai kaum muslimin! Barang siapa yang menyembah Muhammad, maka Muhammad telah mati. Tetapi barang siapa menyembah Allah maka Allah selama-lamanya hidup tidak mati!”
Sambil  membacakan petikan  ayat dari Al-Quran:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ أَفَإِن مَّاتَ أَوْ قُتِلَ انقَلَبْتُمْ عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ ۚ وَمَن يَنقَلِبْ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ فَلَن يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا ۗ وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ
 Dan Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul 234. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. (QS. 3:144)
Begitu mendengar ayat itu, mereka yang berkumpul menunggu berita resmi kematian Nabi mendapat kepastian bahwa Rasulullah sudah wafat. Tentunya Mereka  pernah mendengar ayat itu, yang  turun dalam peperangan Uhud, ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, dikabarkan meninggal dalam pertempuran uhud  yang menyebabkan  sebagian besar pejuang Islam mundur ke Madinah. Tetapi mereka tidaklah memahami maksud ayat tersebut, sebagaimana yang dip ahami oleh Abu Bakar . Ini jelas membuktikan kecerdasan  Abu Bakar As Siddiq dalam memahami Islam.
 Ba’da wafatnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam,  Abu Bakar radhiallahu’anhu dilantik  menjadi khalifah pertama umat Islam. Diahapan umat Islam waktu itu beliau memberikan sambutannya :
 “Kaum Muslimin! Aku dipilih menjadi pemimpin kamu padahal aku ini bukanlah orang yang terbaik di antara kamu. Sebab itu jika kepemimpinanku  baik, dukunglah aku, tetapi jika tidak baik, peringatkan aku. Orang yang lemah di antara kamu adalah orang kuat di sisiku hingga suatu saat aku harus mengambil hak orang lain yang berada disisinya, untuk dikembalikan kepada yang berhak semula. Patuhilah kepadaku selama aku patuh kepada Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi jika aku durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya, pantaslah kamu semua  meninggalkan aku.
 “Aku dipilih untuk memimpin urusan ini padahal aku enggan menerimanya. Demi Allah aku ingin benar kalau ada di antaramu orang yang pandai untuk urusan ini. Ketahuilah jika kamu meminta kepadaku agar aku berbuat sebagaimana  dilakukan  Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, sungguh aku tidak dapat melakukannya, Rasulullah SAW adalah seorang hamba Allah yang mendapat  wahyu dari Tuhan, kerana itu beliau  terpelihara dari kesalahan-kesalahan, sedang aku ini hanyalah manusia biasa yang tidak ada kelebihannya dari seorang pun di antara kamu.”
Ini adalah baba reformasi dalam pemerintahan yang belum pernah dikenal sebelumnya oleh bangsa bangsa,  kerajaan Romawi  dan Persia waktu itu yang menguasai dunia Barat dan Timur .Abu Bakar hidup seperti rakyat biasa dan sangat tidak suka didewa-dewakan,
“Ya Khalifah Allah!”
Beliau  segera memotong perkataan orang itu dengan perkataan :
“Saya bukan Khalifah Allah, saya hanya Khalifah Rasul-Nya!”
Diriwayatkan bahwa pada keesokan harinya,  sehari setelah terpilih sebagai Khalifah, Abu Bakar r.a kelihatan membawa barang dagangannya ke pasar. Beberapa orang yang melihat itu lalu mendekati beliau, di antaranya  Abu Ubaidah bin Jarrah. Sahabat besar itu berkata, “Urusan Khalifah itu tidak bisa campur baur  dengan  bisnis!”
 Lalu Abu Bakar r.a bertanya, “Jadi dengan apakah aku hidup, dan bagaimana aku memberikan belanja pada rumah tanggaku?”
 Menyedihkan nasib yang menimpa Abu Bakar radhiallah , walaupun kedudukannya sebagai Ketua Negara namun belum ada lagi ketetapan berapa besar gaji seorang kepala pemerintah Islam yang bisa didapatkan dari harta pemerintaah. Keadaan ini mendapat perhatian dari para sahabat , lalu mereka menentukan besarnya bantuan untuk  Khalifah dan keluarganya yang diambil dari Baitul Mal. Kemudian itu barulah Khalifah Abu Bakar meninggalkan usaha perniagaannya,  sebagai  upaya  memusatkan  tenaga hidupnya, semata untuk mengembangkan agama Islam dan menjalankan tanggung jawabnya sebagai seorang Khalifah.
 Selagi bertugas sebagai Khalifah, beliau menerima gaji sebanyak enam ribu dirham saja setahun. Gaji itu tidak dibelanjakannya untuk keperluan dirinya, bahkan di menjelang tutup usia beliau telah memerintahkan supaya gajinya  itu diserahkan kembali kepada Baitul Mal.
 Sebelum wafat, Abu Bakar radhiallahu’anhu telah memanggil  Umar radhiallahu’anhu, lalu berkata, “Dengarlah hai Umar! Apa yang akan kukatakan ini, laksanakanlah. Aku mungkin akan kembali ke hadrat Allah hari ini sebab itu sebelum matahari terbit pada besok, engkau harus mengirim bala bantuan kepada Al Munthanna. Janganlah sampai ada bencana sekecil apapun,  membuat  kamu lupa urusan agama dan wasiat Tuhan. Engkau telah menyaksikan apa yang kulakukan, kala Rasulullah SAW wafat sedangkan wafatnya Rasulullah itu adalah sebuah bencana yang belum pernah bencana yang sebesar itu menimpa manusia . Demi Allah, sendainya pada waktu  itu aku melalaikan perintah Allah dan RasulNya, tentu kita telah jatu kedalam siksaan Allah, dan pasti pula kota Madinah ini telah menjadi lautan api.”
Abu Bakar As Shiddiq menjadi khalifah selama dua tahun saja. Walaubagaimanapun beliau telah meletakkan asas pembangunan sebuah pemerintahan Islam yang teguh dan kuat. Beliau juga berhasil  mengatasi berbagai masalah dalam negeri dengan penuh bijaksana  dan wibawa. Dalam masa dua tahun pemerintahannya itu telah terbentuk rantai sejarah Islam yang merupakan lembara-lembaran yang abadi.
Sungguh kehidupan Abu Bakar As Shiddiq adalah penuh dengan mutiara nasihat, penuh dengan ajaran dan  kesan kesan  yang indah mempesona. Selama dua tahun pemerintahannya itu beliau berhasil  membangun  tiang-tiang dakwah dan kekuatan Islam. Beliau membangun kekuatan kekuatan  penting dalam rangka memelihara kepercayaan kaum muslimin dan upaya memelihara keagungan agama Islam. Bahkan beliau juga di akhir riwayat pemerintahannya menundukkan sebagian negeri Syam dan sebagian dari negeri Iraq, lalu pulang menuju rahmat Allah dengan dada yang lapang, ketika umur beliau menginjak 63 tahun. Jenazah beliau  di kubur  di samping kuburan  Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam  di Masjid Nabi, Madinah.
 Mudah mudahan riwayat  perjuangan beliau dan para sahabatnya, dapat menjadi teladan terutama di dalam mendukung setiap langkah dalam upaya membuktikkan kata-kata Rasulullah shallalallahu’alaihi wasallam bahwa Islam akan menapak jalan keberhasilan untuk kedua kalinya,  di sebelah Timur oleh Al Mahdi bersama-sama pemegang panji-panji sunah, dia adalah putra Bani Tamim.


credit:http://koepas.org/index.php/sejarah/530-kisah-menarik-islamnya-bakar-as-siddiq-radhiallahu-anhu

Doa hamba

Ya Allah pantaskah hambamu ini mendapatkan surgamu
Ya Allah pastaskah hambamu ini bertemu dengan Baginda Rasullulah dan para sahabatnya
Sungguh Ya Allah cinta di dalam dada ini begitu menggebu gebu untukmu dan para pengikutmu
Tapi hamba hanya makhluk yang kecil yang mudah sekali terjerumus oleh kegemerlapan dunia. hamba hanyalah makhluk yang tertipu oleh kenikmatan dosa. Sering sekali hamba lalai dengan perintahmu. Imanku sangatlah mudah rapuh. Kenikmatanmu terkadang hamba lupakan dan masih meminta lebih.
Ya Allah sungguh hatiku kotor terkadang hamba sering terpukau oleh makhluk ciptaanmu yang bahkan tak mengenalmu. sungguh hamba telah termakan oleh perhiasaan dunia yang fana. Ampunilah aku Ya Allah. Engkau adalah Rabbku jiwa dan ragaku adalah milikmu
Ya Allah teguhkanlah aku didalam agamamu. Jadikanlah cintaku kepadamu sedalam dalamnya cinta..
Kuatkanlah Imanku. Berilah keselamatan bagiku di dunia dan di akhirat. Aaamiiin

Cinta sepasang Insan mulia Ali bin Abi Thalib dan Fathimah Az-Zahra

Ada rahasia terdalam di hati Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.



Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ‘Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan!Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.ross putihIa merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakar. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ‘Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakar menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ‘Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakar; ‘Utsman, ‘Abdurrahman ibn ‘Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ‘Ali.
Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakar; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ‘Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ‘Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakar sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
‘Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. “Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ‘Ali.
“Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”
Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.
‘Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. ‘Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ‘Ali dan Abu Bakar. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ‘Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ‘Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, “Aku datang bersama Abu Bakar dan ‘Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ‘Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ‘Umar..”
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ‘Umar melakukannya. ‘Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.
‘Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. “Wahai Quraisy”, katanya. “Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ‘Umar di balik bukit ini!” ‘Umar adalah lelaki pemberani. ‘Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ‘Umar jauh lebih layak. Dan ‘Ali ridha.

Cinta tak pernah meminta untuk menanti
Ia mengambil kesempatan
Itulah keberanian
Atau mempersilakan
Yang ini pengorbanan

Maka ‘Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ‘Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ‘Utsman sang miliarderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.
Di antara Muhajirin hanya ‘Abdurrahman ibn ‘Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ‘Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
“Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. “Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. “
“Aku?”, tanyanya tak yakin.
“Ya. Engkau wahai saudaraku!”
“Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
“Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
‘Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.
“Engkau pemuda sejati wahai ‘Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Lamarannya berjawab, “Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.
Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.
“Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
“Entahlah..”
“Apa maksudmu?”
“Menurut kalian apakah ‘Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
“Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka,
“Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !”
Dan ‘Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.
Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ‘Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
‘Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ‘Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian.
Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda”
‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau menikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?”
Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu” ini merupakan sisi ROMANTIS dari hubungan mereka berdua.
Kemudian Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut.”
Kemudian Rasulullah saw. mendoakan keduanya:

“Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.” (kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4)

Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP) : Pengertian, Tujuan, Indikator dan Temuan atas Kelemahan SPIP

Sistem Pengendalian Internal  Pemerintah       Sistem Pengendalian Internal diperlukan oleh semua entitas dalam pelaksanaan kegiatan operais...