1.1 Latar Belakang
Istilah “Pedagang Kaki Lima” atau PKL, sudah tidak asing lagi di telinga dan selalu kita jumpai di perkotaan Indonesia. Mereka berjualan di trotoar jalan, di tamantaman kota, di jembatan penyebrangan, bahkan di badan jalan. Problem kemacetan lalu lintas dan merusak keindahan kota menjadi sorotan yang tidak baik bagi PKL. Tetapi PKL ini berjuang untuk menghidupi keluarga dan menyambung hidupnya, maka PKL juga tidak terlepas dengan kehidupan ekonomi yang harus kita perhatikan untuk diteliti kaitannya dengan akuntansi. Dengan kata lain, bahwa akuntansi tidak terbatas hanya pada profesi akuntansi, melainkan semua umat manusia yang melakukan bisnis baik lingkup besar maupun kecil dalam kehidupannya membutuhkan yang nama-nya akuntansi (Ubaidillah dkk, 2017).
Pedagang
kaki lima tidak bisa dihapuskan dalam tatanan sosial – ekonomi di Indonesia. Jika kita biasa mengasumsikan bahwa pedagang kaki lima sebagai
solusi, maka perekonomian di Indonesia dapat terbangun dari level yang
sangat
kecil. Usaha kecil ini dapat menolong banyak masyarakat yang benar – benar berada dalam kondisi tidak baik, menjadi masyarakat yang
mampu memberikan penghidupan yang layak bagi
dirinya sendiri (Prasetyo, 2012).
PKL adalah salah satu sektor informal yang banyak terdapat di perkotaan. Keberadaan PKL di perkotaan mampu menyediakan lapangan kerja baru. Banyak
orang
menjadikan pedagang
kaki lima sebagai pilihan alternatif bagi yang tidak di sektor
formal. Jadi keterlibatan dalam sektor informal lebih berakibat karena keterpaksaan saja dibanding
sebagai pilihan, hal initerjadi karena tekanan dari
sistem ekonomi yang tidak memberikan tempat
bagi mereka yang tidak
mempunyai pendidikan dan keterampilan yang mencukupi (Rachbini,
D. J
dan A.Hamid 1994: 57 dalam Agus Sulilo,
2011). Sektor informal (PKL) menjadi alternatif, karena mudah memasukinya, tidak perlu keterampilan khusus, serta
pasar yang komperatif, sehingga hal ini dapat menekan angka pengangguran dan kemiskinan. Sektor informal terus berkembang
dalam menyerap tenaga kerja yang tidak tertampung
dalam sektor formal, hal ini
dikemukakan oleh Wirahadikusumah
(dalam Agus Susilo, 2011).
Setiap kota tak terpisahkan dari keberadaan PKL, tidak terkecuali dengan
Kota Jambi. Penelitian ini berfokus pada para Pedagang
Kaki Lima (PKL) di sepanjang Taman Pedistrian Jomblo dan Tugu Keris Siginjai Jambi. Kawasan
Tugu Keris Siginjai merupakan
salah
satu tujuan wisata yang ada
di kota Jambi. Letaknya persis di bundaran kompleks perkantoran pemerintah Kota
Jambi. Tak
heran, kawasan ini menjadi daerah
perlintasan yang
setiap hari dilalui warga.
Sebelum
mengalami renovasi, kawasan tersebut
bernama Tugu Wilayah Kota Baru dengan ornamen yang
dipasang persis dengan tugu Monas di Jakarta. Warga
menyebutnya Monas Jambi atau replika Monas. Pemkot Jambi akhirnya
merenovasi tugu tersebut dan telah diresmikan pada
Desember
2017. Ornamen
yang digunakan nyaris dirombak total dan namanya pun mengalami perubahan menjadi Tugu Keris Siginjai, nama yang merujuk pada senjata tradisional khas Jambi yang pernah digunakan di masa-masa perjuangan kemerdekaan. Kawasan
ini memiliki multifungsi. Pada pagi dan sore hari (terutama
hari libur), banyak warga yang
berkumpul disana untuk sekadar bersantai menikmati pemandangan sekitar kawasan, berswafoto atau berolahraga.
Pemerintah
kota
juga menyelenggarakan acara rutin bertajuk "Car Free Night"
pada setiap hari Sabtu
malam di kawasan tersebut. Acara yang
selalu berhasil mengundang keramaian karena
diisi dengan
berbagai atraksi pertunjukan musik dan budaya yang ditampilkan oleh
masing-masing perwakilan kecamatan.
Kawasan Tanam Pedistrian Jomblo dan Tugu Keris Siginjai yang menjadi area rekreasi gratis ini dimanfaatkan oleh para Pedagang Kaki Lima ini untuk meraup rejeki. Mulai dari rujak, mie ayam, bakso bakar, pempek bakar, hingga es
tebu lengkap ada di sini. Selain itu terdapat hal yang menarik, pada dinding
bagian bawah tugu ini tercantum beberapa gambar
dan
tulisan yang bernilai edukasi sejarah. Ihwal "Keris Siginjai" misalnya, digambarkan dengan cukup
lengkap dan detail, mengenai riwayatnya bahkan keunikannya “Terus terang, saya sendiri merasakan manfaatnya sambil berolahraga pagi” Kata Soekarno,
pengunjung Tanam
Pedistrian
Jomblo di kutip dari (Kompasiana.com).
Meski banyak meraih apresiasi. Lokasi jalan seputaran Tugu Keris
Siginjai yang dialih fungsikan sebagai lokasi PKL
dan sarana hiburan rakyat. Juga banyak mendapatkan kritiskan keras
dari
berbagai pihak. Di kutip dari jambipos- online.com.
Sejumlah warga Kota Jambi menolak kebijakan Syarif Fasha tersebut.
Jadi jalan di lokasi tersebut tidak
bisa
dilalui
kendaraan
dari
segala
arah. Kebijakan Syarif Fasha yang tak ramah fasilitas umum ini telah menggangu hak
publik pengguna jalan. “Tidak punya
inovasi. Masa jalan umum dijadikan sebagai area Pedagang
Kaki Lima (PKL) dan hiburan jalanan. Jalan itu untuk akses publik bukan untuk kepentingan segelitir
kelompok saja”. Ujar Irwan, warga
perumnas Jelutung,
Kota
Jambi.Dan tak
sedikit
yang menyarankan agar
para PKL dikawasan
Tugu
Keris
Seginjai agar lebih
tertata lagi.
Meskipun keberadaan
PKL sering dikaitkan
dengandeterminan- determinan
sosial seperti pendapatan
rendah, pekerjaan tidak
tetap,
pendidikan tidak
memadai, kemampuan berorganisasi yang rendah dan unsur-unsur ketidak
pastian, ternyata PKL
tidak luput dari hukum persaingan bisnis, solidaritas sosial, jaringan sosial sesama mereka dikemukakan oleh Damsar (2002) dalam (Bukhari, 2017). Banyaknya Pedagang Kaki Lima di
kawasan Tugu Keris Siginjai
dan Pedistrian
Jomblo membuat persaingan dalam sistem
penjualan tak dapat terhindarkan. Misalnya
seperti pembagian
lapak atau kios dan
kurangnya kerjasama serta persaingan harga dan persaingan pelanggan.
Pada
umumnya semua usaha yang
didirikan mempunyai tujuan untuk
mendapatkan laba yang
semaksial mungkin. Laba merupakan sumber hidup untuk
berjalannya suatu usaha. Seseorang
pedagang
kaki lima merupakan manusia yang memiliki kebutuhan-kebutuhan dalam kehidupannya. Pedagang kaki lima juga sama dengan kebanyakan yang
memiliki kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi. Kenaikan berbagai harga yang juga tentu mempengaruhi pekerjaan dan kebutuhan hidup seorang
pedanga kaki lima. Dengan kebutuhan yang cukup banyak pula dan juga dengan penghasilan yang
tidak menentu (Asiyah dan Nyoman,
2017).
Laba akuntansi, baik sebagai kata maupun angka
adalah sebuah teks. Interpretasi laba akuntansi sebagai teks, tidak dapat dilepaskan dari konteks, yaitu tergantung pada
siapa yang menafsirkan,waktu,
situasi, kepentingan atau tujuanpembacaan, pengetahuan, kebiasaan, pengalaman, serta latar belakang
lainnya. Dengan latar pendidikan yang
rendah pedagang
kakilima tentu memiliki pemahaman sendiri
dalam melakukan aktivitas
operasi serta konsepsi pendapatan/laba mereka. Dari beberapa hasil penelitian yang
sejenis menunjukkan bahwa pedagang kaki lima memiliki
konsep laba yang unik yang terbentuk dari
pemahaman serta pengalaman selama mereka beroperasi (Asiyah dan Nyoman, 2017).
Laba yang
selalu identik dengan bentuk fisiknya berupa uang
telah
menggeser arti laba yang sesungguhnya. Penafsiran laba saat ini telah didominasi oleh
hal-hal yang
bersifat material,
sehingga hal ini akan
menciptakan individu- individu yang materialistik. Namun tidak semua pelaku usaha menjadikan laba materi sebagai tujuan utama, lebih dari itu terdapat substansi logis dibalik angka- angka laba.
Substansi tersebut
berusaha menyadarkan
pelaku usaha untuk terbebas
dari pikiran materialistik tentang laba.
“Barang siapa
yang menghendaki
keuntungan
di
akhirat
akan
Kami tambah keuntungan-keuntungan itu baginya dan barang siapa yang
menghendaki
keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan
tidak ada baginya suatu bahagiapun di akhirat (QS.
Asy
Syura: 2)”.
Dari segi spiritual, laba sejatinya telah difirmankan oleh Allah SWT dalam bentuk keuntungan yang semata-mata
didapatkan di dunia
untuk mencapai ridho- nya. Dunia adalah kehidupan sementara yang semuanya akan dipertanggungjawabkan di kehidupan yang kekal. Begitu pula keuntungan yang telah diusahakan manusia di dunia
juga akan dipertanggungjawabkan.
Pertanggungjawaban ini menyebabkan manusia seharusnya tidak memupuk keuntungan duniawi semata,
akan tetapi dengan
sepenuh hatinya
menghendaki keuntungan di akhirat. Pemahaman mengenai keuntungan tersebut tentu saja akan membawa laba pada arti yang sesungguhnya. Hal ini mengindikasikan bahwa sebenarnya laba bukan hanya sekedar materi, akan
tetapi
laba memiliki sisi mental dan spiritual yang didapatkan, diproses, dan disalurkan secara halal (Triyuwono, 2015 dalam Marantika, 2017).
Beberapa
penelitian sebelumnya mengenai pemaknaan laba dengan pendekatan kualitatif telah dilakukan. Yaitu penelitian yang dilakukan oleh Sintya Marantika (2017). Penelitiannya
mencoba mengungkapkan makna laba
akuntansi dalam prespektif pelaku usaha
kecil. Dengan pengumpulan data
melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Wawancara dilakukan secara
mendalam untuk menggali kesadaran
individu dengan pertanyaan semi terstruktur.
Hasil penelitian Sintya Marantika (2017) ini menemukan tiga makna laba
akuntansi. Pertama, laba dimaknai sebagai keikhlasan dalam bentuk percaya
rezeki berasal dari Tuhan, jujur dan optimis, serta mengedepankan kualitas produk. Kedua, laba dimaknai sebagai sarana pembayaran dalam bentuk uang. Ketiga, laba dimaknai sebagai rasa
syukur
dalam bentuk sedekah sepenuh hati dan biaya hidup. Tiga makna
tersebut kemudian disinergikan, makna keikhlasan dalam dimensi
perolehan, makna sarana pembayaran dalam dimensi pemrosesan, dan makna rasa syukur dalam dimensi
pengeluaran.
Penelitian selanjutnya penelitian yang
dilakukan oleh Asiyah dan Nyoman (2017). Yang mengalisis makna keutungan menurut pedangang kaki lima di
sepanjang
jalan ahmad yani singaraja. Jumlah informan dalam penelitian ini
sebanyak 10 orang dengan jenis dagangan penjual nasi kuning
sebanyak 9 orangdan penjual es
kelapa sebanyak
1 orang. Hasil dari penelitian
ini menunjukkan bahwa makna keuntungan yang
terdapat dalam setiap kehidupan
pedagang kaki
lima
sebagai informan
dapat digali danditafsirkan
sehingga
terdapat dua makna keuntungan. Makna yang
pertama yaitukeuntungan materi dalam bentuk simpanan yang
digunakan untuk memenuhikebutuhan hidup
sekarang maupun
nanti
dimasa yang
akan datang. Makna yangkedua yaitu
keuntungan spritual yang
terlihat dari kemauan pedagang kaki lima untuktetap
melaksanakan perintah
Allah
SWT dalam bentuk sumbangan.
Pemilihan profesi pedagang kaki lima, bukan profesi yang
lain, didasarkan adanya hubungan yang erat antara profesi pedagang
kaki lima, uang
dan masyarakat. Profesi pedagang kaki
lima, masyarakat
dan “uang” merupakan sebuah lingkaran yang tidak berujung. Ketiganya saling berkaitan dan berhubungan dalam berbagai lingkaran kehidupan. Profesi pedagang
kaki lima memang selalu bersentuhan
dengan masyarakat. Namun,
tetap ada “alat” temu di antara kedua pihak,
yaitu “uang”.
Hal ini terus menerus bergulir
dan tidak terhenti. Selama terdapat masyarakat yang membutuhkan pedagang kaki lima, maka profesi pedagang kaki lima akan selalu ada. Uang kemudian akan menjadi
pengikut “setia” terutama bagi mereka yang
membutuhkan barang
dagangan dan bertitik akhir padapedagang kaki lima itu sendiri (Sari, 2010). Oleh sebab itu,
pertanyaan yang menjadi pokok pemikiran dalam penelitian ini adalah bagaimana pedagang kaki lima
memaknai laba yang sebenarnya dalam
hidup mereka.
1.2 Rumusan Masalah
Keberadaan pedagang kaki lima yang sering
dikaitkan dengandeterminan- determinan sosial seperti pendapatan
rendah, pekerjaan tidak
tetap,
pendidikan tidak memadai, kemampuan berorganisasi yang rendah dan unsur-unsur ketidakpastian serta persaingan dalam
penjualan
Pedagang Kaki Lima (PKL)
tentu memiliki pemahaman sendiri dalam melakukan aktivitas operasi serta
konsepsi mengenai pendapatan/laba mereka. Dari beberapa hasil
penelitian yang sejenis menunjukkan bahwa pedagang kaki lima memiliki konsep laba yang unik yang
terbentuk dari pemahaman serta
pengalaman
selama
mereka
beroperasi.
Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan “Bagaimana para Pedagang
Kaki Lima (PKL) di kawasan Tugu Keris Siginjai dan Pedistrian
Jomblo memaknai laba dalam
hidup mereka?”
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian adalah ingin mengetahui pemaknaan “laba” dalam
prespektif Pedagang Kaki Lima
(PKL) di kawasan Tugu Keris Siginjai dan
Taman
Pedistrian Jomblo.
Bagi masyarakat,
penelitian
ini diharapkan dapat bermanfaat untuk membuka mata tentang profesi pedagang kaki lima, di luar
pandangan positif ataupun negatif yang
selama ini beredar di ruang masyarakat. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
kalangan akademik
yang ingin melihat makna labadari sudut pandang yang berbeda serta bagi mereka yang ingin mengembangkan
penelitian kualitatif dalam penelitiannya.